Jambi — Jambiekspose.com. Pulau Sumatera dikenal dengan kaya akan emas dan sumberdaya alam, dimana salah satunya, harimau yang tinggal satu-satunya jenis tersisa di Indonesia, setelah punahnya harimau jawa dan harimau Bali.
Informasi yang diketahui bahwa jumlah harimau diseluruh Sumatera tinggal 600 ekor, turun jauh dari jumlah di awal 80-an mencapai ribuan ekor.
Salah satu penyebab penurunan populasi akibat kematian harimau yang diakibatkan oleh konflik.
Hal ini ditandai dengan dibukanya secara resmi oleh Kadis Kehutanan Provinsi Jambi, Ir. Erizal Rumah Kito Resort Jambi Selasa(18/09/2018).
Turut mendampingi Penanggung jawab program diklat Dr. Ir Novianto Bambang Wawandono. Msi, Kepala Balai TNBS Ir. Pratono Purwokerto. Msc mewakili Direktur KKH, National Project Manager Sumatera Tiger Project GEF UNDP, Rudijanto Tjahja Nugraha.
Dikatakan oleh Erizal, dari data Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan menyebutkan selama tahun 2001-2016 sejumlah 130 ekor harimau diketahui terbunuh dari akibat konflik.
“disisi lain, konflik dengan harimau menimbulkan kerugian yang besar untuk manusia, sebagai perbandingan dalam rentang waktu diketahui 180 orang manusia terluka dan sebagian meninggal dan lebih dari 700 ekor ternak menjadi makanannya, “jelasnya.
Korban-korban baik manusia, ternak dan harimau itu sendiri merupakan dampak dari konflik yang tidak tertangani secara baik.
Untuk mengantisipasi dampak konflik manusia dan harimau melalui Peraturan menteri kehutanan no 48 /2008,telah mengeluarkan panduan penanggulangan konflik termasuk harimau.
Dan juga Provinsi Jambi telah mengeluarkan SK 1198/kep.Gub/Dishut-37/2017 dan SK Gubernur Nomor G. 459/V. 53/HK/2017 untuk Provinsi Lampung.
“sebagai memperkuat implementasi dari pedoman yang ada, tahun 2017 Ditjen KSDAE bekerjasama dengan pusdiklat KLHK menyusun kurikulum pelatihan penanggulangan konflik manusia dan harimau, “ujarnya.
Dijelaskan Pratono Purwokerto., oleh karena itu penanggulangan konflik antara manusia dengan harimau perlu segera ditangani dengan benar.
Agar penanggulangan konflik antara manusia dengan harimau dapat terlaksana lebih adil, perduli dan saling menguntungkan diperlukan peningkatan efektivitas manajemen penanggulangan konflik satwa liar.
“konflik manusia dan harimau ini diakibatkan oleh habitat dari harimau tersebut semakin sempit dikarenakan beberapa perusahaan membuka lahan perkebunan dimana tempat lahan itu merupakan habitat tumbuhnya harimau tersebut, “terangnya.
Rudijanto Tjahja Nugraha menambahkan, dalam P 48/2008, bahwa ada beberapa prinsip dalam penanganan konflik antara manusia dengan hewan liar atau satwa sama-sama penting, tanggung jawab penyelesaian konflik adalah Multi pihak.
Menurut data konflik manusia dan harimau dari tahun 2001-2006 dipulau Sumatera ada sebanyak 1065, jenis konflik pertama, harimau berkeliaran di daerah permukiman manusia, kedua, dikarenakan kelaparan harimau menyerang hewan ternak milik manusia, harimau menyerang manusia dan harimau itu dibunuh oleh masyarakat atau pemburu liar.
“harimau berkeliaran di daerah permukiman manusia ada sebanyak 375 kasus, harimau menyerang ternak milik masyarakat ada sebanyak 376 kasus, harimau menyerang manusia ada sebanyak 184 kasus, dan harimau mati akibat terbunuh oleh manusia diakibatkan diburu maupun diracun ada sebanyak 130 ekor, “urainya.
Untuk sebaran konflik manusia dan harimau Provinsi Jambi mendapatkan peringkat ketiga sesudah Bengkulu ada sebanyak 200 kasus, Bengkulu ada sebanyak 218 kasus, tertinggi ada Provinsi nanggroe Aceh 227 kasus.
Peserta Pelatihan ini ada sebanyak 43 orang dilaksanakan selama 5(lima) hari.(Inro)